Minggu, 25 April 2010

NILAI EKONOMI BARANG KEBUDAYAAN

NILAI EKONOMI BARANG KEBUDAYAAN

Oleh : Amiluhur Soeroso ( Staf Pengajar STIE Pariwisata API )

Y. Sri Susilo ( Staf Pengajar Universitas Atma Jaya Yogyakarta )

Abstrak

Barang publik diketahui barang-barang yang non-rival dan non-dikecualikan. Ini berarti bahwa konsumsi baik oleh satu individu tidak mengurangi ketersediaan barang untuk konsumsi oleh orang lain, dan bahwa tidak ada satu secara efektif dikeluarkan dari menggunakan yang baik. Akibatnya, menilai manfaat yang baik adalah relatif lebih rumit. Tujuan makalah ini adalah untuk mendiskusikan metode untuk menilai manfaat ekonomi dari barang warisan budaya. Metode terdiri dari mengungkapkan (pasar pengganti) dan lain (disajikan) preferensi i. e. hedonik harga, biaya perjalanan, pasar hipotetik, penilaian kontingen, dan analisis konjoin. Jelas bahwa layanan warisan budaya tidak bebas, sumber daya yang langka, pilihan objektif, memberikan indikasi kinerja ekonomi dan membimbing kebijakan publik i. e. pajak, subsidi, konservasi dan biaya pemulihan, kompensasi dan sebagainya.

Kata Kunci: barang warisan budaya, nilai manfaat, mengungkapkan, menyatakan, kompensasi.

Pendahuluan

Pada dasarnya ciri benda atau barang kebudayaan, termasuk juga benda cagar budaya (BCB), tidaklah jauh berbeda dengan barang lingkungan lainnya yang diproduksi oleh alam seperti udara dan air bersih, panorama alam dan sebagainya. Keduanya memiliki sifat sebagai barang publik yang bersifat tidak bersaing artinya manfaat yang dinikmati seseorang tidak akan menimbulkan biaya terhadap individu lain yang kemudian menikmatinya. Selain itu tidak dapat eksklusif dimiliki oleh perseorangan.

Dalam konteks ekonomi benda, barang atau sering disebut juga sebagai modal atau sumberdaya kebudayaan merupakan sebuah produk. Aset atau sumberdaya tersebut dianggap sebagai modal karena dapat memberikan kontribusi, dan bahkan dapat pula berkombinasi dengan berbagai input dari produksi barang dan layanan jasa lainnya. Karena merupakan sebuah modal, maka logikanya fitur kebudayaan tersebut tentunya memiliki nilai, atau afdol disebut sebagai “nilai kebudayaan”, yang dapat didekati dari banyak aspek seperti antropologi, sosiologi, ekonomidan lain-lain.

Barang kebudayaan memiliki dua nilai yaitu ekstrinsik dan intrinsik. Nilai ekstrinsik merupakan jumlah maksimum kesediaan konsumen membayar untuk memperoleh akses terhadap suatu barang. Pada barang kebudayaan, nilai ekstrinsik yang diperoleh pengguna adalah cerminan jumlah uang terbesar yang bersedia dibayar, dan senyatanya melebihi ongkos sebenarnya untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya tersebut. Total nilai ekstrinsik barang kebudayaan merupakan jumlah total kesediaan membayar pengguna secara individu.

Adapun nilai intrinsik adalah manfaat yang diterima konsumen karena mereka dapa menikmati artefak kebudayaan yang dilindungi. Di sini terkandung nilai eksistensi, nilai pilihan karena menimbulkan pilihan apakah akan dilindungi atau tidak, apakah akan dipreservasi, dikonservasi atau tidak, apakah akan dikembangkan atau dibiarkan mati, dan nilai warisan karena barang tersebut akan diwariskan bagi generasi mendatang.

Throsby (1999) mengatakan bahwa barang kebudayaan adalah modal penghasil nilai kebudayaan karena memasukkan unsure nilai yang dimiliki masyarakat seperti sosial, sejarah dan dimensi kebudayaan lainnya. Dengan begitu, di dalam barang kebudayaan terkandung nilai estetika, spiritual, sosial, sejarah, simbolis dan keaslian.

Dengan demikian, nilai ekonomi adalah ukuran jumlah maksimum suatu produk lainnya ; atau memperlihatkan kesediaan perseorangan membayar manfaat atau menghindari biaya penurunan fungsi barang tersebut (misalnya kerusakan patung, candi). Konsep ini secara formal disebut kesediaan individu untuk membayar (willingness to pay, WTP) produk yang dihasilkan oleh sumberdaya kebudayaan. WTP dapat diartikan pula sebagai jumlah kesediaan maksimum individu membayar agar barang kebudayaan terhindar dari penurunan kondisi. Dengan ukuran tersebut, nilai barang kebudayaan dapat ditransformasikan ke dalam bahasa ekonomi yaitu dengan mengukur nilai moneter produknya.

Pembahasan

Mengapa Perlu Penilaian ?

Banyak sumberdaya diilai memakai harga pasar, namun kebanyakan darinya dinilai secara tidak sempurna atau tidak menyeluruh, karena sifatnya sebagai barang publik yang tidak dapat dibagi, tidak eksklusif dan juga informasi yang terbatas tentang barang tersebut di pasar. Karena ketidak-efisienan pasar tersebut maka dengan menggunakan harga pengganti sumberdaya yang secara umum ada, tidak akan merefleksikan nilai pasar yang sesungguhnya, sehingga sumberdaya tersebut tersedia hanya dalam kuantitas terbatas, absolut atau berbiaya tinggi untuk menggunakannya. Jika terjadi kesalahan alokasi menyebabkan masalah ekonomi (Field dan Field, 2006).

Namun meskipun sumberdaya terbatas, manusia tetap harus membuat pilihan yaitu :

  1. Memanfaatkan atau tidak,
  2. Mengembangkan aktivitas yang berhubunga dengannya, atau
  3. Mengembangkan secara terbatas untuk melindungi eksploitasi sumberdaya.

Untuk mengestimasi manfaat dan ongkos pembangunan serta biaya konservasi relatif mudah, sedangkan untuk mengestimasi manfaat konservasi menjadi persoalan yang sulit dilakukan karena sifatnya yang seringkali merupakan bauran moneter dan manfaat non-pasar. Jika manfaat non-pasar sulit diukur maka kemungkinan keputusan cenderung biasa (Pearman et al., 1999).

Metoda Valuasi

Prinsip valuasi modal kebudayaan sebagai sebuah sumberdaya pada dasarnya sama dengan metode valuasi dalam bidang lingkungan hidup, yang terbagi dua yaitu penilaian tidak langsung atau menggunakan preferensi konsumen sacara tersembunyi atau dikenal juga sebagai metode pasar pengganti dan penilaian langsung atau menggunakan preferensi yang dinyatakan.

Di dalam penilaian tidak langsung terdapat metode produktivitas, pemberian harga hedonis, biaya perjalanan. Sementara itu, pada penilaian langsung menggunakan metode pasar buatan, valuasi kontingensi atau pasar artificial.

Pertama, pendekatan produktivitas. Teknik ini biasanya berhubungan dengan kualitas barang kebudayaan yang dianggap sebagai faktor produksi Perubahan kualitas modal kebudayaan menjurus pada perubahan dalam produktivitas dan biaya produksi sehinga harga-harga serta tingkat hasil juga berubah dan ini dapat diukur. Sebagai analogi, polusi mengakibatkan patung besi berkarat ; kerusakan dihindari dengan cara merawat, mengganti atau mngecatnya; biaya perbaikan disetarakan dengan nilai manfaat untuk meniadakan karat pada patung tersebut.

Kedua, pendekatan biaya perjalanan. Pendekatan ini dipakai untuk menilai barang-barang yang “underpriced” atau dinilai terlalu rendah. Filosofinya, meskipun pada dasarnya obyek kebudayaan, misalnya candi, merupakan barang publik namun permintaan untuk mengakses barang tersebut dipengaruhi oleh permintaan barang privat seperti sarana transportasi. Selain itu, permintaan barang kebudayaan dipengaruhi pula oleh penghasilan individu. Semakin tinggi penghasilan individu diestimasikan semakin besar pula permintaan terhadap barang kebudayaan.

Oleh karena itu, esensi metode ini adalah meneliti perilaku pengeluaran berdasarkan biaya perjalanan untuk mengkonsumsi barang tersebut. Biaya bepergian ke tempat barang kebudayaan berada mempengaruhi kuantitas kunjungan. Teknik ini terbagi dua yaitu metode biaya perjalanan berdasarka zonasi dan individual.

Langkah-langkah penggunaan metode biaya perjalanan :

  1. Mengidentifikasi lokasi dan menggunakan survei kuesioner untuk mengumpulkan data dari wisatawan dengan mengeksplorasi biaya perjalanan yang mereka keluarkan dar tempat origin sampai di tempat tujuan, jumlah kunjungan ke lokasi tersebut, preferensinya, karakteristik sosial-ekonomi, dll.
  2. Menspesifikasikan model fungsi biaya perjalanan
  3. Menurunkan kurva permintaan dan mengestimasi surplus konsumen melalui integrasi di bawah kurva permintaan
  4. Menghitung agregat surplus konsumen di lokasi tersebut.

Ketiga, metode harga hedonis, yang dirancang berdasarkan teori konsumen yang berasumsi bahwa setiap barang menyediakan serangkaian karakteristik atau atribut. Pasar barang dapat dijadikan sebagai input perantara pada proses produksi dari atribut-atribut dasar yang sesungguhnya diminta individu. Sebagai contoh, sebagai rumah, dapat dikatakan sebagai permintaan turunan; sebab kecuali untuk berteduh dapat juga diakses untuk berbagai kegiatan seperti sekolah, atau aktifitas kebudayaan bahkan ruang terbuka dan sebagainya.

Selanjutnya, metode keempat adalah teknik penilaian secara langsung atau preferensi yang dinyatakan. Teknik dalam metode ini adalah valuasi kontingensi dan analisis conjoint. Berbeda dengan pendekatan tidak langsung, penilaian ekonomi sumberdaya kebudayaan dapat diperoleh langsung dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat terhadap kesediaan mereka untuk membayar produk yang dihasilkan oleh suatu sumberdaya.

Kesimpulan

Beberapa hal yang perlu dicatat dari valuasi barang kebudayaan adalah :

  1. Mengingatkan bahwa layanan yang diberikannya tidak gratis tetapi mempunyai harga dan nilai yang seringkali tidak terdeteksi oleh mekanisme pasar,
  2. Memberikan isyarat bahwa sumberdaya tersebut bersifat langka,
  3. Menerjemahkan dampak suatu kegiatan/proyek/aktivitas menjadi nilai yang dapat dibandingkan dan dipadukan dengan analisis manfaat-biaya finansial dan ekonomi sehingga pengambilan keputusan lebih adil dan menghindari pertimbangan kualitatif dan tidak obyektif,
  4. Memberikan indikasi kinerja ekonomi, memberikan arahan untuk kebijakan publik seperti : pajak, subsidi, biaya konservasi, biaya pemulihan, biaya ganti rugi, biaya pencegahan dan sebagainya.

Dengan demikian hasil estimasi, pertama, dapat digunakan untuk memberikan valuasi terhadap nilai barang kebudayaan itu. Kedua, estimasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat investasi yang layak dengan memberikan perlindungan terhadap barang kebudayaan. Ketiga, hasil valuasi dapat mendukung keputusan jika pilihan harus dibuat di antara tujuan yang saling bertentangan di dalam pelestariannya. Keempat, penilaian sangat berguna dalam pembuatan keputusan pendanaan terhadap barang kebudayaan. Oleh karena itu, sekali lagi ditegaskan bahwa nilai ekonomi hasil valuasi barang atau sumberdaya kebudayaan atau benda cagar budaya tersebut mencerminkan manfaatnya yang diberikan bagi umat manusia, bukan harganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar